Melawan Gelombang Kekerasan Seksual: Tantangan Penegak Hukum Dalam Perlindungan Korban Seksual

Penulis: CINDY AYU AFRIYANTI

Ilmu Hukum, Universitas Pamulang

portalbersama.com – Tangerang Selatan, 12 Januari 2025 – Setiap tahun, angka kekerasan seksual di Indonesia terus mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan, hal ini tentunya sudah menjadi pengingat bagi kita semua bahwa situasi darurat kekerasan seksual di Indonesia tidak juga teratasi walau telah diterbitkannya berbagai undang-undang yang berkaitan dengan kejahatan seksual. Data dari berbagai lembaga menunjukan bahwa alih-alih menurun, kasus kekerasan seksual justru semakin meluas dengan target korbannya yang telah mencakup semua kelompok usia dan gender. Fenomena ini tentunya akan menimbulkan pertanyaan mendalam tentang apa yang salah? Apakah akar permasalahan ini  terletak dari lemahnya implementasi undang-undang, kurangnya kesadaran masyarakat, ketidakpastian atau keseriusan dari aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus ini. Situasi ini membuktikan perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem hukum, mekanisme perlindungan korban dan perlunya menerapkan pendidikan kepada masyarakat guna melawan gelombang kekerasan seksual yang terus meningkat.

Berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) pada tahun 2024 bahwa untuk prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki usia 13-17 tahun sepanjang hidup meningkat dari 3,65% pada 2021 menjadi 8,34% pada 2024, sedangkan untuk anak perempuan prevelensi kekerasan seksual dengan usia yang sama sepanjang hidup pada 2021 berkisar 8,34% naik menjadi 8,82% pada 2024. Dari data ini telah menunjukan bahwa ternyata kekerasan seksual dan bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan dan anak di Indonesia masih menjadi tantangan serius yang sangat-sangat memerlukan perhatian dan tindakan lebih lanjut dari berbagai pihak. 

Kekerasan seksual telah menjadi salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang bukan saja menjadi masalah serius di Indonesia melainkan untuk seluruh negara. Kejahatan kekerasan seksual ini tidak hanya menimbulkan penderitaan secara fisik saja kepada korban melainkan juga berdampak penderitaan yang lebih mendalam bagi korban karena akan mempengaruhi tatanan sosialnya, psikologis dan tentunya akan memberikan dampak pada keluarga dan lingkungan sekitar, karena kelurga korban juga bisa ikut merasakan dampak emosional korban seperti kesedihan dan kemarahan, sedangkan dari lingkungan sekitarnya akan merasa cemas atau tertanggu oleh peristiwa tersebut. Walaupun berbagai aturan hukum telah diterapkan, namun upaya penegakan hukumnya sering kali menghadapi berbagai tantangan dalam memberikan perlindungan yang efektif bagi korban kekerasan seksual, hal ini bisa saja terjadi dikarenakan:

  1. Minimnya pemahaman dan sensitivitas dari aparat penegak hukum yang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai terkait aspek hukum, situasi sosial atau konteks tertentu yang relevan dalam menjalankan tugas mereka inilah yang kemudian menyebabkan trauma pada korban pada saat membuat proses pelaporan menjadi pengalaman yang lebih menyakitkan dan kurangnya penegak hukum yang belum memiliki pelatihan khusus mengenai penanganan kasus kekerasan seksual.
  2. Minimnya sarana dan prasana yang mendukung, dapat dilihat dari tidak semua wilayah di Indonesia ini memiliki ketersediaan unit khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual seperti Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), yang akhirnya mengakibatkan kurangnya akses layanan yang memadai bagi korban sehingga berdampak pada penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang seringkali terhambat dan tidak efektif.
  3. Ketika kasus ini dinaikan dalam ranah pengadilan, hal yang paling sulit adalah bersinggungan dengan masalah pembuktian hukumnya, sebagaimana kita ketahui bahwa kekerasan seksual itu sering terjadi di tempat tertutup tanpa saksi, sehingga pembuktian bergantung pada keterangan korban dan alan bukti forensik. Bahkan hal ini juga tidak bisa dijadikan patokan, karena ada juga beberapa putusan pengadilan yang memberikan putusan bebas karena:
  1. 1 saksi bukan saksi, sedangkan dalam kasus kekerasan seksual yang minimnya saksi ini akan menjadi sulit, apalagi jika korbannya adalah anak di bawah umur akan dianggap bahwa pernyataanya tidak bisa dijadikan bukti pendukung karena bisa saja pernyataan yang diberikan berubah-ubah atau tidak tetap pada pendirian.
  2. Ada juga putusan yang dimana menurut hakim bukti visum et repertum tentang adanya luka lecet pada vagina tidak bisa dibenarkan sebagai tindakan kekerasan seksual oleh pelaku yang dituduhkan.
  3. Ketika kasus kekerasan seksual baru dilaporkan ketika 1 bulan atau beberapa setelahnya, yang dimana ketika akan di visum sudah tidak bisa lagi.
  1. Stigma sosial yang lebih identik melekat pada korban dari pada pelaku, membuat banyak korban menjadi diam atau tidak melaporkan, karena cenderung akan menyalahkan korban, belum lagi ketika korban memiliki bukti valid seperti video yang ketika akan diberikan sebagai bukti kepada polisi justru malah disebarluaskan dari grup ke grup.
  2. Lemahnya implementasi aturan hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual bisa terjadi karena:
  1. Ketiadaan efek jera bisa dilihat ketika hukum akan ditegakkan dengan tegas, namun sudah diremehkan oleh para pelaku terlebih dahulu, karena dalam anggapan mereka bahwa risiko untuk ditangkap atau dihukum berat sangat kecil konsekuensinya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka berani untuk tidak mengunlangi tindakan kekerasan seksual, misalnya juga ketika pelaku adalah anak kecil, yang dimana anggapan mereka bahwa mereka masih di bawah umur tidak akan di hukum dan akan dibebaskan.
  2. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum telah menurun, apabila masyarakat sudah mulai tidak percaya bahwa sistem hukum bisa melindungi korban atau menghukum pelaku, maka mereka akan cenderung enggan melapor karena ujung-ujungnya hanya akan membuat malu karena korban menjadi terekspos dan pelaku bukannya dihukum tapi malah di bebas, sekalinya di hukum malah diberikan sanksi yang rendah, tidak sebanding dengan rasa sakit korban, maka keadilan patut untuk dipertanyakan.
  3. Minimnya perlindungan korban membuat korban jadi enggan untuk melaporkan.
  4. Adanya budaya impunitas dari lemahnya penegakan hukum yang kemudian menciptakan budaya impunitas tersebut di mana kekerasan seksual telah dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan tidak perlu di tanggapi secara serius, dan merasa bahwa zaman sekarang bisa jadi hal tersebut dilakukan karena suka sama suka bukan karena bagian dari korban kekerasan seksual.

Salah satu tantangan utama dalam kasus kekerasan seksual adalah minimnya keberpihakan dari seluruh komponen kepada korban baik itu pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat, baik saat proses pelaporan, penyidikan hingga persidangan. Dari berbagai hal yang telah dijelaskan di atas, maka dalam konteks melawan gelombang kekerasan seksual ini perlu mengedepankan evaluasi dan memperkuat peran penegak hukum dalam menghadapi gelombang kekerasan seksual yang terus meningkat, dengan cara menyoroti berbagai tantangan yang ada untuk itu perlu adanya upaya yang lebih sistematis lagi dalam meningkatkan kesadaran selurun komponen bahwa pentingnya perlindungan hukum bagi kroban serta memastikan bahwa setiap proses hukum bisa dijalankan dengan adil dan transparan. Selian dari pada itu, dengan adanya kolaborasi yang erat antara lembaga pemerintah, organisasi masyarakat dan aparat penegak hukum sangat dibutuhkan untuk menciptakan mekanisme yang efektif dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual sehingga korban akan bisa merasa lebih terlindungi dan mendapatkan keadilan yang diharapkan.