Pengakuan Hukum Internasional

Nama                       : Mut Mainah
NIM                         : 231011500011
Program Studi         : Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan
Fakultas                   : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Perguruan Tinggi    : Universitas Pamulang
Mata Kuliah            : Hukum Internasional
Dosen Pengampu    : Bapak Herdi Wisman Jaya, S.Pd., M.H

Prolog

Pengakuan dalam hukum internasional merupakan isu fundamental dan salah satu aspek yang paling sarat dengan kompleksitas, baik secara yuridis maupun politis. Secara klasik, Pengakuan Negara didefinisikan sebagai tindakan formal yang mengonfirmasi bahwa suatu entitas telah memenuhi kriteria kenegaraan, sebagaimana tercantum dalam Konvensi Montevideo 1933 (yaitu: wilayah permanen, penduduk tetap, pemerintahan, dan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain). Namun, di panggung global yang dinamis, esensi pengakuan seringkali terperangkap dalam dualisme: apakah ia semata-mata merupakan pernyataan fakta hukum (teori deklaratif) atau justru menjadi prasyarat untuk eksistensi penuh suatu negara dalam tatanan internasional (teori konstitutif)? Dinamika kontemporer, yang dipicu oleh konflik geopolitik dan krisis kemanusiaan, kian menyingkap bahwa pengakuan telah bergeser menjadi instrumen strategis yang lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik daripada kepatuhan murni pada norma hukum.

Pengertian Pengakuan dalam Hukum Internasional

Pengakuan ( recognition) dalam hukum internasional adalah tindakan sepihak dari suatu negara atau sekelompok negara untuk menyatakan bahwa mereka menerima eksistensi suatu entitas sebagai negara atau pemerintahan yang sah menurut hukum internasional. Pengakuan ini merupakan bentuk penerimaan terhadap status hukum dan kapasitas suatu entitas untuk menjalankan hak dan kewajiban sebagai subjek hukum internasional. 

Pengakuan dapat diberikan kepada:

  • Negara baru yang terbentuk akibat pemisahan, dekolonisasi, atau penyatuan wilayah.
  • Pemerintahan baru yang muncul melalui revolusi, kudeta, atau pemilu.
  • Situasi hukum tertentu, seperti pengakuan atas yurisdiksi, status diplomatik, atau pengakuan terhadap kelompok pemberontak sebagai pihak yang sah dalam konflik bersenjata.Tujuan dan Implikasi Pengakuan
  • Menegaskan status hukum internasional suatu entitas.
  • Membuka jalan bagi hubungan diplomatik dan kerja sama internasional.
  • Memberikan akses terhadap organisasi internasional, seperti PBB atau WTO.
  • Menjamin perlindungan hukum internasional, termasuk hak atas wilayah, penduduk, dan sumber daya.
  • Menstabilkan situasi politik dan ekonomi melalui legitimasi global.

Teori Pengakuan dalam Hukum Internasional

Pengakuan terhadap negara atau pemerintahan baru dalam hukum internasional telah lama menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. Dua teori utama yang menjelaskan dasar pengakuan adalah Teori Konstitutif dan Teori Deklaratif, dengan tambahan pendekatan Teori Campuran sebagai jalan tengah.

  1. Teori Konstitutif (Constitutive Theory)

Teori ini menyatakan bahwa suatu negara baru hanya menjadi subjek hukum internasional setelah diakui oleh negara-negara lain. Artinya, eksistensi hukum suatu negara bergantung pada pengakuan dari komunitas internasional. Contoh : Penolakan pengakuan terhadap Taiwan oleh banyak negara karena tekanan politik dari Tiongkok.

  • Teori Deklaratif (Declaratory Theory)

Teori ini menyatakan bahwa pengakuan hanyalah pernyataan formal bahwa suatu negara telah memenuhi syarat sebagai subjek hukum internasional. Eksistensi negara tidak bergantung pada pengakuan, melainkan pada terpenuhinya unsur-unsur konstitutif negara. Contoh : Kosovo mengklaim kemerdekaan dan telah diakui oleh banyak negara, meskipun belum diakui secara universal. Menurut teori ini, Kosovo tetap sah sebagai negara karena telah memenuhi unsurunsur kenegaraan.

  • Teori Campuran (Teori Pemisah)

Teori ini mencoba menggabungkan kedua pendekatan sebelumnya. Ia mengakui bahwa eksistensi negara secara hukum tidak tergantung pada pengakuan (seperti dalam teori deklaratif), tetapi pengakuan tetap penting untuk menjalankan fungsi-fungsi praktis dalam hubungan internasional (seperti dalam teori konstitutif).

Kedaulatan Rakyat vs. Kedaulatan Negara

Untuk memperkuat argumen bahwa pengakuan tidak lepas dari aspek politik, kita dapat merujuk pada pandangan ahli hukum internasional.

W. Michael Reisman, seorang sarjana hukum internasional terkemuka, menekankan bahwa hukum internasional seharusnya melindungi kedaulatan rakyat (popular sovereignty) dan bukan sekadar kedaulatan negara atau penguasa yang seringkali dijadikan alat pembenaran. Dalam konteks pengakuan, pandangan ini menyiratkan kritik: jika suatu entitas yang secara de facto memenuhi kriteria kenegaraan dan merepresentasikan kehendak rakyatnya tidak diakui karena alasan politik negara-negara besar, maka pengakuan telah gagal menjalankan fungsi hukumnya. Sebaliknya, jika pengakuan diberikan secara tergesa-gesa kepada rezim atau entitas yang tidak stabil demi kepentingan strategis negara-negara pemberi pengakuan, itu juga merupakan penyimpangan. Bagi Reisman, pengakuan sejati harus berpijak pada legitimasi yang berasal dari rakyat, bukan hanya formalitas yang didorong oleh manuver geopolitik.

Relevansi Jurnal (2020–2025): Pengakuan sebagai Instrumen Politik Kontemporer

Studi-studi terbaru dalam literatur hukum internasional cenderung menguatkan pandangan bahwa faktor politik telah mendominasi norma hukum dalam praktik pengakuan.

•  Jurnal 1: Dalam artikel “Dinamika Pengakuan Negara dalam Hukum Internasional:

Analisis Implikasi Hukum dan Politik terhadap Kedaulatan Negara” (Jessica & Nathania Davita Sitanggang, Jurnal Hukum Lex Generalis, Vol 6 No 1, 2025), disoroti bahwa dinamika pengakuan negara sering dipengaruhi oleh konteks politik global dan regional. Jurnal ini mempertegas bahwa meskipun negara merupakan subjek utama hukum internasional, proses pengakuan itu sendiri tidak steril dari pertimbangan politik.

•  Jurnal 2: Penelitian “Legalitas Hukum Internasional Tentang Pengakuan Negara–

Negara Terhadap Konflik China Dan Taiwan” (Uruilal, Wattimena, & Tahamata, TATOHI: Jurnal Ilmu Hukum, Vol 3 No 8, 2023) menunjukkan bagaimana isu kedaulatan dan pengakuan dapat berubah menjadi status quo yang rumit akibat kepentingan politik para aktor global. Kasus Taiwan mencontohkan secara nyata bagaimana pengakuan (atau ketiadaan pengakuan) digunakan sebagai alat politik untuk menegaskan pengaruh di kawasan.

Kesimpulan  

Pada akhirnya, pengakuan hukum internasional seringkali menjadi perwujudan dari apa yang disebut oleh akademisi Gëzim Visoka (2022), sebagaimana dikutip dalam salah satu sumber, bahwa pengakuan internasional kini semakin dipengaruhi oleh dinamika politik. Meskipun kriteria hukum Konvensi Montevideo tetap ada, penerapannya menjadi selektif. Negara-negara besar menggunakan pengakuan sebagai alat tawar atau sanksi politik, bukan sekadar pernyataan jujur atas fakta hukum. Untuk mengembalikan integritas norma, praktik pengakuan harus kembali berpegangan pada prinsip-prinsip hukum yang adil, mengedepankan hak penentuan nasib sendiri rakyat, dan meminimalkan intervensi kepentingan geopolitik.

Sumber dan referensi

Jessica, & Nathania Davita Sitanggang, E. (2025). Dinamika Pengakuan Negara dalam Hukum Internasional: Analisis Implikasi Hukum dan Politik terhadap Kedaulatan Negara. Jurnal Hukum Lex Generalis, 6(1).

  • Uruilal, F. B., Wattimena, J. A., & Tahamata, L. C. (2023). Legalitas Hukum Internasional Tentang Pengakuan Negara–Negara Terhadap Konflik China Dan Taiwan. TATOHI: Jurnal Ilmu Hukum, 3(8), 739–748.

Libella, E., Salsasbilla, F. Z., & Putri, R. P. E. M. (2020). Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional. Journal of Judicial Review, 22(2).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Portal Bersama
Hallo Kakak!