Berulang kali kita membaca berita: puluhan siswa sekolah harus dilarikan ke puskesmas, sebagian muntah-muntah, sebagian lagi lemas tak berdaya. Ironisnya, semua itu bukan karena bencana alam, melainkan dari makanan yang seharusnya menyehatkan mereka.
Di Tangerang Selatan, sejumlah siswa SD di Kecamatan Setu jatuh sakit usai menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Hasil laboratorium menyebut adanya kontaminasi bakteri E. coli dari salah satu dapur penyedia. Pemerintah memang cepat menutup dapur itu, tapi pertanyaannya: mengapa pengawasan selalu datang setelah korban berjatuhan?
Kasus serupa bukan hanya terjadi di Tangsel. Di Bogor, ratusan siswa dari TK hingga SMA harus dirawat usai makan MBG, hingga Walikota menetapkannya sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Di Sumatera Selatan, 121 siswa di PALI juga keracunan massal, gejalanya sama: pusing, mual, muntah. Apa ini kebetulan? Atau justru tanda ada yang sangat keliru dalam pelaksanaan program MBG?
Negara Tak Boleh Diam
Pangan anak sekolah bukan sekadar urusan dapur, melainkan hak dasar yang dijamin undang-undang. UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan jelas menyebut bahwa pangan yang beredar harus aman dan bermutu. UU Perlindungan Konsumen memberi hak kepada masyarakat untuk mendapatkan makanan yang sehat. Jika makanan yang disajikan malah mengantarkan anak-anak ke Instalasi Gawat Darurat, itu berarti ada pelanggaran serius.
Pertanyaanya sederhana : Apakah pemerintah hanya ingin program terlihat berjalan, tanpa peduli mutu di baliknya? Bukankah anak-anak ini generasi masa depan yang seharusnya dilindungi, bukan dijadikan kelinci percobaan?
Jangan Lagi Ada “Diduga”
Setiap kali kasus ini muncul, pernyataan resmi hampir selalu sama: “Masih menunggu hasil laboratorium,” atau “Diduga akibat makanan MBG.” Kata diduga seakan menjadi tameng untuk menunda tanggung jawab. Padahal korban nyata, sudah terbaring di rumah sakit, orang tua panik, dan sekolah terguncang.
Sampai kapan publik harus menerima jawaban normatif seperti itu? Sampai ada korban jiwa?
Tanggung Jawab yang Harus Ditegakkan
Pemerintah tak bisa lagi sekadar menutup dapur bermasalah lalu menganggap masalah selesai. Tanggung jawab negara mencakup:
- Pengawasan ketat sebelum makanan dibagikan, bukan sesudah ada korban.
- Standar dapur dan higienitas yang wajib dipenuhi, lengkap dengan sertifikat laik hygiene dan inspeksi rutin.
- Sanksi tegas bagi penyedia yang lalai—dari pidana, denda, hingga ganti rugi korban.
- Transparansi kepada publik, bukan sekadar rilis singkat yang menenangkan sesaat.
Keracunan massal siswa bukan lagi kasus biasa. Ini alarm keras bahwa ada lubang besar dalam rantai pengawasan pangan sekolah. Jika pemerintah masih memandang remeh, program yang digadang sebagai solusi gizi malah berubah jadi bumerang kesehatan.
Anak-anak kita berhak mendapat makanan sehat, aman, dan bermartabat. Negara punya kewajiban mutlak memastikan itu. Karena ketika generasi muda dipaksa menelan racun alih-alih gizi, maka bukan hanya perut mereka yang terancam, tapi juga masa depan bangsa ini.
Penulis: Aryuda Muhammad Naufal R.