Teknologi Jaringan di Masa Depan: Antara Tujuan Semu dan Hakikat Pembelajaran dalam Pandangan Islam

Oleh: Puri Katulistiwasari (NIM: 251012700123)
Mata Kuliah: Sistem Informasi Manajemen dan Perencanaan Pendidikan, Pascasarjana Manajemen Pendidikan, Universitas Pamulang.

Dosen Pengampu: Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd,. M.H.

Perkembangan pesat teknologi jaringan seperti 5G, Internet of Things (IoT), cloud computing, dan edge computing sering dijadikan tolak ukur keberhasilan pendidikan modern. Banyak lembaga pendidikan menganggap bahwa tujuan utama belajar adalah menguasai teknologi tersebut. Padahal, menurut Tilaar (2004) filosofis pendidikan memandang bahwa ketika manusia menjadikan teknologi sebagai tujuan, ia kehilangan arah hakikinya untuk memahami kehidupan dan memperbaiki peradaban. Fenomena ini tampak pada kurikulum-kurikulum berbasis digital yang berorientasi pada kompetensi teknis tanpa membangun nilai dan makna. Akibatnya, muncul gejala “technologism” yaitu suatu pandangan yang memfokuskan teknologi sebagai ukuran kemajuan manusia (Postman, 1993). Menurut laporan Cisco (2024), sebanyak 72% organisasi pendidikan dan bisnis global sedang melakukan transformasi menuju jaringan berbasis arsitektur cerdas (Cisco Global Networking Trends Report, 2024). Namun, angka tersebut tidak serta-merta berbanding lurus dengan peningkatan kualitas makna belajar dan pembangunan peradaban manusia. Di Indonesia, data Kementerian Komunikasi dan Informatika (2023) menunjukkan bahwa masih terdapat lebih dari 12.000 sekolah yang belum memiliki akses internet stabil, menandakan kesenjangan digital yang besar (Kominfo, 2023).

Lebih dari itu, kemajuan teknologi jaringan saat ini tidak otomatis merepresentasikan kemajuan peradaban manusia. Fenomena modern memperlihatkan paradoks: di satu sisi, teknologi semakin maju dan canggih, namun di sisi lain tingkat berpikir dan perilaku (kepribadian) manusia tidak menunjukkan kemajuan sepadan. Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah menjelaskan bahwa kemajuan peradaban sejati (hadlârah) bukan diukur dari kecanggihan alat atau kemajuan materi, melainkan dari sistem berpikir yang dibangun atas asas ideologi yang benar, yakni akidah Islam. Beliau menegaskan bahwa kepribadian manusia terbentuk dari pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyah) yang bersumber dari akidah Islam; tanpa itu, kemajuan teknologi hanya akan menghasilkan kemunduran moral dan kehampaan makna hidup (An-Nabhani, 2001).

Dengan demikian, kemajuan teknologi jaringan yang tidak disertai dengan peningkatan kualitas berpikir dan perilaku sesuai nilai-nilai akidah Islam justru menunjukkan ketimpangan peradaban. Teknologi yang semestinya menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas manusia malah berpotensi menjauhkan manusia dari hakikat kemanusiaannya jika tidak diarahkan oleh pemikiran dan kepribadian Islam.

Kemajuan teknologi jaringan modern justru merupakan produk samping dari pembelajaran mendalam (deep learning), bukan tujuannya. Para ilmuwan dan insinyur yang mengembangkan 5G, IoT, maupun network function virtualization (NFV) tidak hanya mempelajari teknologi, tetapi juga memahami prinsip matematika, fisika, etika, dan kebutuhan manusia. Menurut Magnaye (2024), inovasi jaringan kuantum dan integrasi kecerdasan buatan dalam komunikasi digital lahir dari proses lintas disiplin yang melibatkan logika, etika, dan empati terhadap kebutuhan sosial (Magnaye, 2024). Dengan demikian, setiap kemajuan teknologi jaringan merupakan hasil dari upaya manusia memahami alam dan memecahkan persoalan kehidupan secara rasional dan moral. Artinya, yang lebih penting bukan alatnya, melainkan cara berpikir yang mendalam di balik penciptaannya.

Proses berpikir mendalam (deep thinking) sendiri merupakan inti dari belajar sejati. Manusia tidak hanya berfungsi sebagai pengguna alat, melainkan merupakan makhluk yang memiliki kesadaran eksistensial. Pembelajaran yang mendalam menuntun manusia memahami siapa dirinya, bagaimana hubungannya dengan alam, dan bagaimana kehidupan sebelum serta sesudah kehidupan di dunia. Dalam konteks Islam, Al-Qur’an mendorong manusia untuk berpikir secara menyeluruh (kaffah) terhadap ciptaan Allah. Firman Allah dalam QS. Al-Ghasyiyah ayat 17–20 memerintahkan manusia merenungkan penciptaan unta, langit, gunung, dan bumi. Hal tersebut menjadi sebuah seruan reflektif untuk memahami keteraturan semesta sebagai tanda kebesaran-Nya. Proses berpikir menyeluruh melahirkan kesadaran bahwa teknologi bukanlah “pencipta kehidupan”, melainkan “produk kehidupan”. Oleh karena itu, pembelajaran yang hakiki harus mengintegrasikan dimensi intelektual, moral, spiritual, dan sosial agar pemahaman manusia terhadap alam tidak terlepas dari tujuan hidupnya.

Tujuan hidup manusia tidak berhenti pada pencapaian duniawi. Dalam pandangan Islam, memaparkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah dan memakmurkan bumi sesuai petunjuk Allah (QS. Adz-Dzariyat ayat 56). Oleh karenanya, orientasi hidup yang hakiki manusia adalah beramal shalih untuk kehidupan akhirat. Di sinilah pembelajaran menemukan makna terdalamnya bukan terletak pada sekadar menyiapkan keterampilan kerja, tetapi membentuk kesadaran eksistensial bahwa ilmu harus mengantarkan manusia kepada Tuhannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din yang menegaskan bahwa ilmu sejati adalah yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan melahirkan amal yang bermanfaat bagi manusia dan alam (Al-Ghazali, 2005). Dengan demikian, tujuan hakiki dari belajar adalah menjadi manusia yang mampu memahami dirinya, alam, dan Tuhan; menemukan inovasi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan; serta menyiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Teknologi, termasuk jaringan digital, hanyalah alat untuk memperkuat daya pikir, memperluas akses informasi, dan mempercepat penyebaran kebaikan.

Pembelajaran yang sejati tidak berhenti pada penguasaan skill teknis, namun untuk melatih hikmah, agar memiliki kemampuan menimbang antara manfaat dan mudarat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan memberinya pemahaman dalam agama” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang menuntun pada pemahaman hidup sesuai syariat.

Dalam pandangan etika Islam, hukum asal alat adalah mubah (boleh), selama tidak digunakan untuk hal yang diharamkan. Teknologi jaringan, termasuk internet dan AI, pada dasarnya netral, dapat menjadi baik atau buruk bergantung pada niat dan cara penggunaannya. Imam Syatibi dalam Al-Muwafaqat menjelaskan bahwa semua wasilah (sarana) hukumnya mengikuti maqashid (tujuan) yang ingin dicapai. Maka, jika tujuan belajar adalah kebaikan dan kemaslahatan, pemanfaatan teknologi jaringan menjadi bagian dari ibadah. Namun, jika tujuan belajar hanya untuk kesombongan, hedonisme, atau kekuasaan, maka teknologi menjadi alat kesesatan (Asy-Syatibi, 1997).

Teknologi jaringan modern telah memperluas ruang belajar tanpa batas. Dikutip dari laporan UNESCO (2023), bahwa teknologi digital dapat mendukung pembelajaran yang adaptif, personal, dan kolaboratif lintas negara. Selain itu, dikutip dari studi oleh Basto dan Martins (2022), menunjukkan bahwa penggunaan jaringan digital dalam pendidikan dapat membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir sistemik dan memecahkan masalah (problem solving).

Menurut Expereo (2024), di masa depan, konektivitas 6G dan quantum network akan membuka peluang bagi pembelajaran yang imersif dengan berdasarkan realitas campuran (mixed reality) dan kecerdasan kolektif global. Namun, pemanfaatannya perlu selalu berada pada nilai etika dan tujuan pendidikan spiritual. Jika tanpa panduan nilai tersebut, teknologi hanya akan menghasilkan manusia cerdas tetapi hampa makna.

Sumber:

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Asy-Syatibi, I. (1997). Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Basto, M., & Martins, J. (2022). Digital technologies and problem-solving skills in higher education. Journal of Education and Information Technologies, 27(4), 563–579.

Cisco Systems. (2024). Global Networking Trends Report 2024. Cisco.

Kominfo. (2023). Statistik Akses Internet Sekolah di Indonesia. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Magnaye, M. (2024). Emerging quantum network technologies and the role of AI integration. Modern Engineering and Technology, 4(3), 45–59.

Postman, N. (1993). Technopoly: The Surrender of Culture to Technology. New York: Vintage Books.

Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

UNESCO. (2023). Technology in Education: A Tool on Whose Terms? Global Education Monitoring Report.

Expereo. (2024). Global Internet Connectivity: Future Trends. Expereo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Portal Bersama
Hallo Kakak!