Oleh: Mahathir Dirajisaka (Mahasiswa Sistem Informasi Universitas Pamulang)
“Kalau mau cepat lulus, dekatkan diri ke dosen.” “Kalau kamu anak pejabat kampus, nilaimu pasti aman.” Ungkapan seperti ini terdengar ringan, bahkan sering dilontarkan dengan nada bercanda di kalangan mahasiswa. Namun, di balik kelakar itu tersembunyi masalah besar: praktik nepotisme dan privilese yang menggerogoti nilai keadilan di dunia pendidikan tinggi. Ketika relasi lebih penting daripada prestasi, ketika kedekatan lebih menentukan daripada kompetensi, maka kampus gagal menjadi ruang meritokrasi yang adil. Dan mahasiswa terjebak dalam dilema: ikut arus atau melawan sistem?
Nepotisme di Kampus: Ancaman Diam-Diam
Nepotisme dalam dunia akademik memang tidak selalu kasat mata. Ia bekerja dalam senyap, melalui kedekatan informal, jaringan keluarga, dan politik organisasi mahasiswa. Misalnya, dalam proses pemilihan ketua organisasi kampus, peserta yang dekat dengan dosen pembina atau pimpinan fakultas sering kali mendapatkan perlakuan khusus. Mahasiswa yang berasal dari keluarga ‘berpengaruh’ di kampus pun kadang mendapat kemudahan dalam akses informasi, fasilitas, bahkan toleransi akademik.
Konsekuensi Jangka Panjang
Budaya nepotisme ini berdampak buruk bagi mahasiswa secara luas. Pertama, ia menghancurkan motivasi mahasiswa berprestasi karena mereka merasa kerja keras tidak dihargai. Kedua, ia menciptakan iklim kompetisi yang tidak sehat, di mana mahasiswa berusaha “mendekat” bukan untuk belajar, tapi untuk mendapatkan keuntungan. Ketiga, ia menjadi cikal bakal korupsi di luar kampus—karena terbiasa menggunakan relasi sebagai jalan pintas.
Saatnya Mahasiswa Melawan dengan Etika
Mahasiswa tidak boleh diam. Kita harus berani menolak sistem yang menjadikan kedekatan sebagai alat ukur. Caranya bukan dengan anarki, tapi dengan membangun kesadaran kolektif, menyuarakan keadilan, dan menuntut transparansi dalam semua proses akademik dan organisasi kampus. Selain itu, mahasiswa juga harus menjadi teladan dalam menjaga integritas, dengan tidak mencari perlakuan istimewa, tidak menjilat kekuasaan, dan terus mengedepankan kompetensi serta etika.
Nepotisme adalah bentuk korupsi mikro yang membunuh semangat meritokrasi. Kampus harus menjadi ruang yang bersih, adil, dan berani berkata bahwa semua mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Dan mahasiswa, sebagai pihak yang hidup langsung dalam sistem tersebut, harus menjadi pelopor gerakan anti-nepotisme. Karena jika kita tidak menolak ketidakadilan hari ini, kita sedang menyiapkan generasi pemimpin yang akan mengulang korupsi esok hari.