STRATEGI PENDIDIKAN ANTI-HOAX UNTUK GENERASI Z

Penulis : Fidah Nurbayti

Generasi Z yang yang tumbuh Bersama teknologi digital yang retan dengan kabar hoax. Mereka malah menjadi target dalam menyebarkan berita hoax. Lalu, apa strategi Pendidikan yang sesuai untuk melindungi mereka?

Di zaman digital, kita berhadapan dengan berita yang menarik. Generasi Z merupakan generasi yang lahir dari tahun 1997-2012, merupakan generasi yang tumbuh dengan teknologi digital. Mereka besar dengan smartphone di genggaman dan internet sebagai elemen yang tak terpisahkan dari kehidupan. Namun, keahlian dalam teknologi ternyata tidak langsung membuat mereka terlindung dari hoax. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan fakta mengejutkan, bahwa 87% anak muda Indonesia aktif bermain sosial media dan 65% diantaranya pernah membagikan informasi tanpa memvertifikasi atau mencari tau terlebih dahulu kebenarannya.

Mengapa Generasi Z mudah terpengaruh hoax?

  1. Dampak Raung Gema (Echo Chamber)

Penelitan dari Pew Research Center (2018) mengungkapkan bahwa 73% remaja cenderung lebih mempercayai informasi yang sejalan dengan pandangan yang sudah mereka miliki. Yang menyebabkan algoritma media sosial yang menyajikan konten sesuai dengan menyajikan konten sesuai dengan preferensi atau kesukaan pengguna tanpa peduli dengan kebenarannya.

  • Bingung Sumber (Source Confusion)

Stanford History Education Group (2017) teleh melakukan penelitian terhadap siswa menengah mengenai berita hoax, yang menunjukkan bahwa 80% siswa Tingkat menengah tidak bisa membedakan antara berita hoax dan berita asli. Mereka menerima berita itu berdasarkan berita yang mereka baca bukan dari sumber informasi yang lebih terpecaya.

  • Pencurian Emosi (Hijacking Emosional)

Riset dari MIT Technology Review (2018) menunjukkan berita palsu menyebar enam kali lebih cepat dibandingkan dengan berita yang benar karena bersifat emosional. Yang lebih mencemaskan, Instragram (78%) dan TikTok (65) menjadi sumber informasi utama untuk mereka, melebihi media yang menyebarkan berita aslinya. Motivasi untuk membagai informasi lebih dipengaruhi oleh factor emosional (68%) dari pada factual (32%).

Strategi Efektif Menghadapi Hoax

  1. Teori Inkulasi Digital

Penelitian Roozenbeek & Van Der Linden (2019) dari University of Cambridge menunjukkan efektivitas “teori inkolusi” dalam menghadapi hoax. Mirip dengan vaksin yang menyajikan virus dalam jumlah kecil untuk mengembangkan kekebalan, metode ini menyajikan contoh-contoh hoax dalam suasana terkelola. Penelitian mereka menunjukkan bahwa peserta yang memainkan “Bad News Game” simulasi yang mengajarkan strategi manipulasi informasi mengalami peningkatan kemampuan dalam mengidentifikasi hoax sebesar 21% dan penurunan kerentanan terhadap berita palsu sebesar 18% .

  • Pembelajaran Teman Sebaya

Penelitian dari Journal of Computer-Mediates Communication (2020) mengungkapkan bahwa pembelajaran antar teman 40% lebih efisiensi dalam mempengaruhi perilaku digital remaja dibandingkan metode top-down yang konvensional. Pendekatan ini memanfaatkan kecenderungan generasi z yang lebih mengandalkan informasi dari rekan sebaya.

  • Gamifikasi dan Pencitraan

Studi oleh Educational Technologi Research and Development (2021) menunjukkan bahwa penggunaan gamifikasi dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran literasi digital yang mencapai 85%. Strategi ini memanfaatkan sifat alami generasi z yang gemar pada persaingan dan pencapaian.

Tantangan yang Harus Dihadapi

Penelitian yang dilakukan oleh Digital Literacy Research Network (2020) menemukan beberapa kendala utama dalam pelaksanaan Pendidikan anti hoax. Survey yang melibatkan 500 guru di Asia Tenggara menunjukkan  bahwa 67% dari mereka masih merasa tidak percaya diri dalam mengerjakan literasi digital. Mereka memerlukan pelatihan tidak hanya mengenai teknologi, tetapi juga tentang psikologi kognitif dan cara kerja misinformasi. Sebagaian siswa juga melihat Pendidikan anti hoax sebagai penghalang kebebasan berekspresi di platfrom media sosial. Diperlukan pendekatan yang peka untuk merubah pola pikir ini.

  1. Solusi Teknologi

Ironisnya, teknologi yang berfungsi sebagai sarana penyebaran hoax juga dapat menjadi bagian dari Solusi. Aplikasi pemeriksaan fakta seperti Cek Fakta dan Hoax Buster Indonesia bisa diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran. Platfrom simulasi interaktif juga terbukti membuat pembelajaran lebih menarik.

  • Tindakan Nyata Menuju Masa Depan
  • Bagi Pemerintah : Masukkan Pendidikan anti hoax ke dalam kurikulum nasional secara terstruktur. Bukan sekedar program tambahan, tetapi bagian yang fundamental dari Pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia dan TIK.
  • Untuk Sekolah : Mulailah dengan proyek percontohan di beberapa kelas, latih guru secara mendalam dan gunakan siswa terlatih sebagai pendidik sebaya.
  • Bagi Guru : Awali dari diri sendiri. Pelajari literasi digital, ikuti komunitas pengajar digital, dan teraplam pemeriksaan fakta dalam aktivitas sehari-hari.
  • Untuk Orang Tua : berpartisipasi secara aktif salam kehidupan digital anak. Tentukan kesepakatan keluarga mengenai berbagi informasi dan jadilaj teladan bersikap digital yang baik.
  • Membangun Masa Depan Digital yang Sejahtera

Melawan berita palsu tidak berarti menghalangi kebebasan berpendapat atau akses terhadap informasi. Ini adalah usaha untuk memastikan bahwa kebebasan itu dimanfaatkan dengan bijak dan bertanggung jawab.

Era pasca-kebenaran memang sulit, tetapi itu tidak berarti kita harus menyerah. Dengan strategi ini, Pendidikan yang efektif, generasi z bisa menjadi perisai terakhir menghadapi gelombang misinformasi yang membahayakan demokrasi dan persatuan sosial.

Hal terpenting, Pendidikan kontra hoax bukan hanya tentang pemindahan pengetahuan teknis, melainan perubahan pola pikir dan pengembangan karakter digital yang bertanggung jawab. Sebab di akhir hari, informasi yang kita terima dan sebarkan tidak hanya berdampak pada diri kita, tetapi juga masa depan negara.

Referensi:

  • Anderson, M., & Jiang, J. (2018). Teens, Social Media & Technology 2018. Pew Research Center.
  • Guess, A., Nagler, J., & Tucker, J. (2019). Less than you think: Prevalence and predictors of fake news dissemination on Facebook. Science Advances, 5(1).
  • Roozenbeek, J., & van der Linden, S. (2019). Fake news game confers psychological resistance against online misinformation. Palgrave Communications, 5(1).
  • Vosoughi, S., Roy, D., & Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. Science, 359(6380), 1146-1151.
  • Wineburg, S., & McGrew, S. (2017). Lateral reading: Reading less and learning more when evaluating digital information. Stanford History Education Group.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Portal Bersama
Hallo Kakak!