
Oleh:Mei Andani
Demo dan aksi turun ke jalan memang menjadi simbol semangat mahasiswa dalam memperjuangkan perubahan sosial. Sejak masa Orde Lama, mahasiswa Indonesia dikenal sebagai penggerak utama dalam menumbangkan ketidakadilan dan menyuarakan suara rakyat. Namun, di era sekarang, ketika korupsi masih merajalela dalam bentuk yang lebih sistemik dan tersembunyi, kita butuh lebih dari sekadar orasi. Gerakan antikorupsi tidak boleh berhenti di spanduk dan orasi; ia harus diikuti dengan aksi nyata dan komitmen jangka panjang, baik secara individu maupun kolektif.
Demo Hanya Awal, Bukan Tujuan Akhir
Demonstrasi merupakan bentuk ekspresi politik yang sah, bahkan vital dalam sistem demokrasi. Namun, seringkali setelah demo selesai dan sorotan media meredup, semangat yang dibawa di jalanan pun ikut padam. Ini adalah pola yang berulang: mahasiswa bersuara keras di awal, namun kehilangan konsistensi dalam gerakan lanjutan. Padahal, korupsi adalah masalah struktural yang tidak bisa diselesaikan dalam satu hari atau satu momen protes.
Untuk itu, kita sebagai mahasiswa harus memahami bahwa demo hanyalah pintu masuk. Perjuangan melawan korupsi sejatinya harus dibawa dalam kehidupan sehari-hari, dalam cara kita berpikir, bertindak, hingga cara kita mengelola organisasi di lingkungan kampus.
Komitmen Dimulai dari Lingkungan Terdekat
Kita tidak bisa bicara tentang korupsi level nasional jika di tingkat kampus pun kita membiarkan praktik tidak etis terjadi. Misalnya, pemalsuan tanda tangan dalam absensi rapat organisasi, laporan fiktif pada proposal kegiatan, hingga praktik kolusi dalam pemilihan ketua organisasi mahasiswa. Semua itu adalah bentuk korupsi kecil yang jika tidak ditolak sejak dini, akan menjadi mentalitas yang terbawa hingga dunia kerja dan pemerintahan.
Komitmen jangka panjang berarti kita menolak semua bentuk ketidakjujuran dalam aktivitas sehari-hari. Tidak hanya ketika ada yang mengawasi, tapi sebagai bagian dari prinsip hidup. Integritas harus menjadi identitas mahasiswa, bukan hanya topik seminar.
Gerakan Kolektif Berbasis Solusi
Salah satu kelemahan gerakan antikorupsi yang bersifat spontan adalah tidak adanya kelanjutan program. Mahasiswa harus mulai membangun gerakan kolektif berbasis solusi — bukan hanya menolak, tetapi juga memberi tawaran alternatif. Misalnya, menciptakan sistem transparansi dana organisasi mahasiswa, membuat platform pelaporan pelanggaran secara anonim di kampus, atau menginisiasi audit internal kegiatan kampus secara berkala oleh mahasiswa lintas jurusan.
Sebagai mahasiswa Sistem Informasi, saya percaya bahwa teknologi memiliki peran besar dalam mendukung keberlanjutan gerakan ini. Aplikasi berbasis web untuk pelaporan korupsi mikro, sistem manajemen anggaran organisasi terbuka, atau dashboard keterbukaan informasi kegiatan mahasiswa bisa menjadi contoh konkret kontribusi nyata.
Konsistensi dan Pendidikan Berkelanjutan
Kunci dari gerakan antikorupsi yang kuat adalah konsistensi. Ini berarti mahasiswa harus terus belajar, membangun kesadaran kritis, dan menyebarkan nilai-nilai integritas kepada angkatan di bawahnya. Salah satu kesalahan gerakan mahasiswa masa lalu adalah minimnya regenerasi. Ketika satu angkatan lulus, gerakan ikut berhenti. Ini tidak boleh terulang.
Gerakan antikorupsi di kampus harus memiliki struktur dan kaderisasi yang jelas. Tidak cukup hanya satu tahun kepemimpinan, tetapi perlu ada dokumentasi program, pelatihan kader baru, dan integrasi nilai-nilai integritas dalam sistem organisasi. Inilah bentuk komitmen jangka panjang yang dibutuhkan, bukan semangat musiman.
Korupsi adalah musuh jangka panjang, dan oleh karena itu harus dilawan dengan komitmen jangka panjang pula. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus mampu bertransformasi dari sekadar demonstran menjadi pelaku perubahan yang sistematis, konsisten, dan berorientasi pada solusi.
Gerakan antikorupsi tidak boleh berhenti di jalanan. Ia harus hidup dalam ruang kelas, organisasi, forum diskusi, media sosial, hingga sistem manajemen kampus. Dan yang paling penting, ia harus hidup dalam diri setiap mahasiswa yang percaya bahwa masa depan Indonesia bisa bersih—jika kita mau memulainya hari ini, dengan tindakan nyata.